Catatan Kecil Perjalanan : Singapura Dan Kuala Lumpur
- Oktober 27, 2017
- By Arry Wastuti
- 0 Comments
Jajan 'one dollar ice cream' di Jurong East bus interchange, Singapura. Ternyata harganya sudah tidak 'one dollar' lagi, melainkan SGD 1.2 |
Belum banyak memang negara yang kami kunjungi. Acara ngebolang kami ke negara lain baru sebatas ke negara tetangga terdekat, Singapura dan Malaysia. Pertama kali kami bertiga keluar negeri adalah ke Johor Bahru, Malaysia, dengan tujuan utama ke Legoland. Dan karena kami PP via bandara Changi, maka Singapura pun sempat kami jejaki meskipun cuma satu malam saja :D
Semua persiapan dari mulai menyusun itinerary, membuat paspor, memesan tiket pesawat dan tiket masuk tempat wisata, mem-booking hotel, dll dsb, saya kerjakan sendiri. Pengalaman pertama merancang perjalanan mandiri ala backpacker yang bikin saya "ngerasa pinter" bahkan sebelum berangkat traveling-nya. Hahaha. Seru kalau buat saya sih, mencari-cari info lewat browsing, blog walking, bertanya dan menyimak postingan di grup-grup backpacker di medsos, bikin saya seolah-olah merasa sudah pernah datang ke tempat yang dituju dan jadi bikin nggak sabar ingin cepat-cepat berangkat. Kala kedua kami ngebolang ke negara tetangga adalah ke Kuala Lumpur. Kali ini persiapannya sudah tidak seheboh yang pertama, tapi perasaan excited-nya sih tetap sama.
Sejak kecil, si Bocah (di tahun 2017 ini umurnya 10 tahun) kami biasakan untuk makan apa aja dan tidak harus makan nasi. Karbo pengganti nasi bisa apa aja yang dia suka. Bisa roti, kentang, jagung, mie, dkk. Hal ini ternyata bikin dia mudah beradaptasi dengan aneka makanan ketika kami traveling ke luar negeri. Biarpun cuma negara tetangga yang jaraknya dekat, tapi soal makanan bisa berbeda sekali dengan di negara kita. Misalnya nih ya, sama-sama McD tapi di Singapura ternyata tidak ada menu nasi di McD; atau, di banyak resto di Kuala Lumpur yang menyediakan menu nasi ternyata yang tersedia adalah nasi lemak yang rasanya mirip nasi uduk dan tidak ada nasi putih biasa. Saya bukan termasuk orang yang telaten menyiapkan aneka pernik makanan, alias ogah repot, apalagi saat sedang bepergian jauh dari rumah. Saya sering mendengar orang yang rela membawa-bawa rice cooker dan beras saat bepergian ke luar negeri. Kalau alasannya untuk menghemat pengeluaran, masih bisa saya mengerti, tapi sering juga alasannya adalah karena nggak bisa makan kalau bukan makan nasi putih. Waduh, untung deh kami bertiga nggak ada yang begitu. Buat saya, itu merepotkan sekali.
Merencanakan dan melakukan perjalanan mandiri tentu ada sisi plus dan minusnya ya. Kesempatan mengamati kehidupan masyarakat setempat saat sama-sama berada di public transport, saat jajan di emperan, saat berada di public area, buat kami itu adalah pengalaman yang sangat berharga dan merupakan sesuatu yang rasanya mustahil bisa didapat jika kita keliling kota naik bus tour&travel. Hehe. Saat traveling mandiri kami memiliki keleluasaan waktu dan kebebasan menentukan sendiri itinerary perjalanan kami. Namun ternyata hal ini juga harus diiringi kelapangan dada ketika target perjalanan yang sudah disusun dalam itinerary ternyata tidak terpenuhi dan memaksa kami luwes menghadapi situasi. Saat tempat tujuan yang dicari tidak ketemu, selalu siap mencari alternatif pengganti. Seperti saat kami di Singapura dan kesulitan mencari resto halal yang sudah direncanakan akan dikunjungi sementara perut sudah kelaparan, akhirnya kami melipir ke...........McD! Hahaha. Yaelah....jauh-jauh ke negara orang kok makannya di McD. Yah gimana lagi, perut sudah keruyukan minta diisi, sementara nyari resto halal di Singapura bukan perkara mudah buat kami yang baru pertama kali berkunjung ke negara singa ini (cerita kami mencari makanan halal di Singapura sudah saya tulis di sini ya).
Saat menjejakkan kaki di Singapura, kami takjub melihat betapa bersihnya kota ini. Sampah yang terlihat hanyalah dedaunan kering. Hampir tidak ada benda berserakan di tanah atau jalanan yang bisa dikategorikan sampah betulan. Hal lain yang menakjubkan buat kami adalah jalur pedestriannya yang lebar dan sistem transportasi massanya yang bersih, nyaman, dan tepat waktu. Bocah kecil kami sangat girang saat naik turun MRT dan men-tap kartu Ez Link di mesin. Dia juga sangat bersemangat saat membuka dan mempelajari peta MRT, menanyakan arah tujuan kami, dan mengingatkan berapa stasiun lagi kami harus turun. Perjalanannya saja sudah demikian menyenangkan buat dia dan naik MRT sudah serasa piknik. Asik juga ya, pikniknya ngirit, nggak harus masuk ke tempat wisata. Haha.
Ketika tiba di bandara Changi, saya cukup kaget melihat eskalator di sana yang jalannya ngebut begitu rupa. Dan walaupun sudah ngebut begitu eskalatornya, tetap banyak orang yang jalan cepat-cepat di sisi kanan lho. Ternyata tidak hanya di Changi, saya pun menyaksikan hal serupa di tempat umum lainnya. Entah ada aturan tertulisnya atau tidak, berdiri di sisi kiri sepertinya sudah jadi aturan naik eskalator bagi masyarakat Singapura, karena sisi kanan diperuntukkan bagi orang-orang yang ingin menyalip dan berjalan cepat.
Kalau di Kuala Lumpur, hal yang menarik perhatian saya adalah gaya berpakaian wanita Melayu di sana yang menggunakan baju kurung untuk pakaian sehari-hari. Dimana-mana kerap dijumpai para wanita berparas Melayu yang menggunakan baju kurung yang aslinya adalah pakaian adat mereka. Kalau kata saya sih keren, cara mereka mempertahankan adat istiadat setempat dalam dunia modern. Sementara saya membayangkan kalau saya harus memakai kebaya setiap hari, kayaknya nyerah aja deh. Hahaha.
Cerita di atas sesungguhnya hanya secuil dari semua keseruan yang kami alami selama ngebolang di negeri tetangga. Menuliskan ini, membuat saya ingin segera melakukan perjalanan lagi. Tapi....upsss....ternyata tabungannya belum cukup. Hahaha. Yuk ah kita nabung lagi!
- arry -
Semua persiapan dari mulai menyusun itinerary, membuat paspor, memesan tiket pesawat dan tiket masuk tempat wisata, mem-booking hotel, dll dsb, saya kerjakan sendiri. Pengalaman pertama merancang perjalanan mandiri ala backpacker yang bikin saya "ngerasa pinter" bahkan sebelum berangkat traveling-nya. Hahaha. Seru kalau buat saya sih, mencari-cari info lewat browsing, blog walking, bertanya dan menyimak postingan di grup-grup backpacker di medsos, bikin saya seolah-olah merasa sudah pernah datang ke tempat yang dituju dan jadi bikin nggak sabar ingin cepat-cepat berangkat. Kala kedua kami ngebolang ke negara tetangga adalah ke Kuala Lumpur. Kali ini persiapannya sudah tidak seheboh yang pertama, tapi perasaan excited-nya sih tetap sama.
Sejak kecil, si Bocah (di tahun 2017 ini umurnya 10 tahun) kami biasakan untuk makan apa aja dan tidak harus makan nasi. Karbo pengganti nasi bisa apa aja yang dia suka. Bisa roti, kentang, jagung, mie, dkk. Hal ini ternyata bikin dia mudah beradaptasi dengan aneka makanan ketika kami traveling ke luar negeri. Biarpun cuma negara tetangga yang jaraknya dekat, tapi soal makanan bisa berbeda sekali dengan di negara kita. Misalnya nih ya, sama-sama McD tapi di Singapura ternyata tidak ada menu nasi di McD; atau, di banyak resto di Kuala Lumpur yang menyediakan menu nasi ternyata yang tersedia adalah nasi lemak yang rasanya mirip nasi uduk dan tidak ada nasi putih biasa. Saya bukan termasuk orang yang telaten menyiapkan aneka pernik makanan, alias ogah repot, apalagi saat sedang bepergian jauh dari rumah. Saya sering mendengar orang yang rela membawa-bawa rice cooker dan beras saat bepergian ke luar negeri. Kalau alasannya untuk menghemat pengeluaran, masih bisa saya mengerti, tapi sering juga alasannya adalah karena nggak bisa makan kalau bukan makan nasi putih. Waduh, untung deh kami bertiga nggak ada yang begitu. Buat saya, itu merepotkan sekali.
Merencanakan dan melakukan perjalanan mandiri tentu ada sisi plus dan minusnya ya. Kesempatan mengamati kehidupan masyarakat setempat saat sama-sama berada di public transport, saat jajan di emperan, saat berada di public area, buat kami itu adalah pengalaman yang sangat berharga dan merupakan sesuatu yang rasanya mustahil bisa didapat jika kita keliling kota naik bus tour&travel. Hehe. Saat traveling mandiri kami memiliki keleluasaan waktu dan kebebasan menentukan sendiri itinerary perjalanan kami. Namun ternyata hal ini juga harus diiringi kelapangan dada ketika target perjalanan yang sudah disusun dalam itinerary ternyata tidak terpenuhi dan memaksa kami luwes menghadapi situasi. Saat tempat tujuan yang dicari tidak ketemu, selalu siap mencari alternatif pengganti. Seperti saat kami di Singapura dan kesulitan mencari resto halal yang sudah direncanakan akan dikunjungi sementara perut sudah kelaparan, akhirnya kami melipir ke...........McD! Hahaha. Yaelah....jauh-jauh ke negara orang kok makannya di McD. Yah gimana lagi, perut sudah keruyukan minta diisi, sementara nyari resto halal di Singapura bukan perkara mudah buat kami yang baru pertama kali berkunjung ke negara singa ini (cerita kami mencari makanan halal di Singapura sudah saya tulis di sini ya).
Saat menjejakkan kaki di Singapura, kami takjub melihat betapa bersihnya kota ini. Sampah yang terlihat hanyalah dedaunan kering. Hampir tidak ada benda berserakan di tanah atau jalanan yang bisa dikategorikan sampah betulan. Hal lain yang menakjubkan buat kami adalah jalur pedestriannya yang lebar dan sistem transportasi massanya yang bersih, nyaman, dan tepat waktu. Bocah kecil kami sangat girang saat naik turun MRT dan men-tap kartu Ez Link di mesin. Dia juga sangat bersemangat saat membuka dan mempelajari peta MRT, menanyakan arah tujuan kami, dan mengingatkan berapa stasiun lagi kami harus turun. Perjalanannya saja sudah demikian menyenangkan buat dia dan naik MRT sudah serasa piknik. Asik juga ya, pikniknya ngirit, nggak harus masuk ke tempat wisata. Haha.
Ketika tiba di bandara Changi, saya cukup kaget melihat eskalator di sana yang jalannya ngebut begitu rupa. Dan walaupun sudah ngebut begitu eskalatornya, tetap banyak orang yang jalan cepat-cepat di sisi kanan lho. Ternyata tidak hanya di Changi, saya pun menyaksikan hal serupa di tempat umum lainnya. Entah ada aturan tertulisnya atau tidak, berdiri di sisi kiri sepertinya sudah jadi aturan naik eskalator bagi masyarakat Singapura, karena sisi kanan diperuntukkan bagi orang-orang yang ingin menyalip dan berjalan cepat.
Kalau di Kuala Lumpur, hal yang menarik perhatian saya adalah gaya berpakaian wanita Melayu di sana yang menggunakan baju kurung untuk pakaian sehari-hari. Dimana-mana kerap dijumpai para wanita berparas Melayu yang menggunakan baju kurung yang aslinya adalah pakaian adat mereka. Kalau kata saya sih keren, cara mereka mempertahankan adat istiadat setempat dalam dunia modern. Sementara saya membayangkan kalau saya harus memakai kebaya setiap hari, kayaknya nyerah aja deh. Hahaha.
Cerita di atas sesungguhnya hanya secuil dari semua keseruan yang kami alami selama ngebolang di negeri tetangga. Menuliskan ini, membuat saya ingin segera melakukan perjalanan lagi. Tapi....upsss....ternyata tabungannya belum cukup. Hahaha. Yuk ah kita nabung lagi!
- arry -
0 komentar
Komentar Anda dimoderasi. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya :)
Silakan tinggalkan pesan di kolom komentar dan saya akan membalasnya. Sering-sering berkunjung ya, untuk mengecek dan membaca artikel lainnya di blog ini. Terima kasih. Maturnuwun. Thank you. Danke.