(Doc : pribadi) |
Matahari tengah hari yang terik menyinari wilayah Gunung Kidul, mengukir retakan-retakan tanah yang cukup dalam di lapangan luas di samping Balai Desa Plembutan. Saya melangkahkan kaki menuju stand yang katanya menyediakan kopi yang diracik oleh seorang barista yang istimewa, seorang #BaristaInklusif. Untuk istilah yang terakhir ini saya sudah cukup sering mendengar dan membacanya di media sosial, namun baru kali ini saya mendapat kesempatan bertemu langsung dengan salah satunya.
Namanya Eko Sugeng, seorang barista inklusif yang merupakan anggota tim Stara Coffee (Instagram : @staracoffee) #KarenaKopiKitaSetara. Stara Coffee adalah dampingan salah satu mitra Program Peduli di Yogyakarta, yaitu Pusat Rehabilitasi YAKKUM (Instagram : pryakkum, Facebook : Pusat Rehabilitasi YAKKUM). Mengamati Mas Eko yang cekatan menyeduh kopi, mata saya membulat dan mulut saya berdecak kagum. Tak perlu telapak dan jari-jari tangan, Mas Eko terlihat terampil menuang biji kopi ke dalam grinder, menimbang bubuk kopi untuk mendapatkan takaran yang pas, lalu kemudian menyeduhnya dengan air panas. Metode manual brewing menggunakan alat V60 sempurna dilakukannya layaknya seorang barista bertangan lengkap.
"Mas Eko belajar jadi barista berapa lama?"
"Sekitar setahun, Mbak."
"Apa yang sulit dipelajari waktu pelatihan menjadi barista, Mas?"
"Sulitnya kalau pakai mesin espresso. Soalnya itu (ia menyebutkan bagian dari mesin espresso yang saya tidak tahu persis namanya) sulit dioperasikan kalau tidak punya tangan lengkap."
Saya manggut-manggut, sepenggal percakapan dengan Mas Eko memberi sedikit gambaran di benak saya, betapa sulit perjuangannya menjadi seorang barista. Dari cerita beberapa orang barista yang saya kenal, biasanya mereka hanya perlu pelatihan beberapa hari hingga beberapa minggu saja untuk bisa terampil menyeduh kopi. Namun untuk seorang Mas Eko, butuh waktu sekitar satu tahun untuk bisa menguasai keterampilan seorang barista. Tak aneh sih, karena peralatan yang digunakan sama dengan peralatan barista pada umumnya, maka orang-orang seperti Mas Eko tentu butuh waktu lebih lama untuk menyesuaikan diri ketika menggunakan alat-alat tersebut.
Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang ingin saya sampaikan pada Mas Eko, namun antrian gelas di meja yang menunggu diisi kopi seduhannya membuat saya urung bertanya banyak. Saya memilih kembali mengamati Mas Eko dan timnya menyeduh kopi, duduk bergabung dengan teman-teman blogger lainnya yang sama-sama mengantri pesanan kopi. Tak lama kemudian nama saya dipanggil. Saya menerima kopi pesanan saya dari mbak admin yang juga seorang difabel yang tadi mencatat nama dan pesanan kopi kami.
Perlahan saya menikmati es kopi susu robusta di tangan saya. Dinginnya cukup menyejukkan tenggorokan yang kering karena cuaca panas siang itu. Kopi susu yang saya nikmati kali ini terasa berbeda. Ah, mungkin karena diracik oleh barista yang istimewa, maka rasanya pun berbeda. Entah pula karena saya menikmatinya dengan decak kagum yang tiada henti, hingga membuat rasanya berbeda dengan kopi susu yang biasa saya minum di tempat lain.
(Doc : pribadi) |
Temu Inklusi #3 - 2018
Selain stand Barista Inklusif, siang itu di lapangan Balai Desa Plembutan, Playen, Gunung Kidul, juga terdapat deretan stand lainnya. Stand-stand ini didirikan dalam rangka pameran dan bazar yang merupakan bagian dari acara Temu Inklusi 2018. Seperti stand Barista Inklusif yang menampilkan buah karya para difabel, beberapa stand lainnya juga menampilkan dan menjual hasil karya para difabel di berbagai bidang keterampilan. Salah satu yang saya temui adalah stand kerajinan batik dari para pengrajin difabel di Blora, Jawa Tengah.(Doc : pribadi) |
Stand batik difabel Blora, Jawa Tengah (Doc : pribadi) |
Stand lainnya yang menarik perhatian adalah stand yang isinya gabungan hasil karya siswa SLB se-Kabupaten Gunung Kidul. Di sana ada produk makanan, lampu hias, aneka produk rajutan, sprei, syal, dan masih banyak lagi produk lainnya. Beberapa produk yang mereka hasilkan bisa dilihat di foto-foto berikut ini.
(Doc : pribadi) |
(Doc : pribadi) |
(Doc : pribadi) |
(Doc : pribadi) |
Lampu hias dari bahan sendok plastik karya siswa SLB di Gunung Kidul (Doc : pribadi) |
Adalah undangan untuk menghadiri acara Temu Inklusi 2018 di Desa Plembutan, Playen, Gunung Kidul, yang membuat saya bisa bertemu dengan Mas Eko dan teman-teman difabel hebat lainnya. Pertemuan difabel tingkat nasional ini dihadiri oleh perwakilan dari 15 provinsi di Indonesia, terdiri dari individu, organisasi, dan para pemerhati serta pegiat inklusi. Temu Iklusi 2018 bertema "Menuju Indonesia Inklusif 2030 Melalui Inovasi Kolaboratif", memiliki agenda yang salah satunya adalah Lokakarya Tematik. Kami para blogger yang diundang dalam acara ini dibagi menjadi 3 kelompok untuk hadir dalam 3 tema lokakarya dari total 11 tema yang penyelenggaraannya dilakukan secara paralel.
Kelompok saya mendapat jatah hadir di lokakarya bertema Tata Kelola Desa Inklusi dengan pembicara Bapak Sutrisna, Kepala Desa Sidorejo, Kulon Progo; dan Ibu Dra. Edi Supriyanti, Kepala Desa Plembutan, Gunung Kidul; serta dimoderasi oleh Pak Suharto, seorang difabel netra yang merupakan warga Gunung Kidul. Lokakarya kali ini berbentuk forum diskusi di mana pembicara maupun peserta saling berbagi pengalaman mengenai praktek pengelolaan desa inklusi di daerahnya masing-masing.
Di awal acara, kedua pembicara berbagi cerita mengenai kondisi warga difabel di wilayahnya. Di Desa Sidorejo, Pak Sutrisna mengungkapkan bahwa ada 70 orang difabel berat dari total 360 orang penyandang disabilitas. Para difabel ini dianggap setara dengan warga desa lainnya. Mereka diundang untuk hadir di acara-acara musyawarah desa dan didengarkan aspirasinya. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah karena tantangan berat awalnya justru datang dari keluarga para difabel ini sendiri. Banyak yang merasa malu dengan kondisi anggota keluarganya yang menyandang disabilitas sehingga mereka menutup-nutupi keberadaannya. Namun lambat laun, dengan pendekatan intensif dari perangkat desa dan warga desa yang peduli, pihak keluarga mau membuka diri dan memberikan dukungan pada para difabel untuk berkarya dan menyalurkan aspirasi untuk kemajuan desanya.
Senada dengan Pak Sutrisna, Bu Edi juga menghadapi kendala yang hampir sama di Desa Plembutan. Pihak keluarga yang menutup-nutupi keberadaan para difabel, menjadi tantangan besar bagi jajaran perangkat desa. Namun dengan berbagai upaya pendekatan akhirnya akses menuju para difabel ini bisa terbuka lebar. Desa Plembutan bahkan menjadi desa pertama di Gunung Kidul yang menjalankan pengelolaan desa inklusi. Desa ini yang pertama kali mengeluarkan Perdes (Peraturan Desa) tentang partisipasi kelompok rentan dan penyandang disabilitas dalam pembangunan desa. Hasilnya, desa ini memiliki kelompok difabel dampingan bernama Kelompok Mutiara Plembutan. Berbagai pelatihan dilaksanakan untuk membekali para anggotanya dengan berbagai keterampilan. Beberapa pelatihan yang sudah diselenggarakan di tahun 2017 adalah pelatihan produksi makanan berbahan lokal, sementara di tahun 2018 sudah dilaksanakan pelatihan pembuatan sprei, dan yang sedang direncanakan adalah pelatihan komputer. Adapun anggaran untuk kegiatan ini berasal dari APBDes. Selain itu, Desa Plembutan juga menerapkan pengelolaan desa inklusi melalui pembangunan sarana fisik, contohnya : saat ini Balai Desa Plembutan sudah bisa diakses oleh kursi roda. Toilet yang aksesibel untuk kursi roda juga sudah tersedia meskipun jumlahnya masih terbatas.
Usai pemaparan oleh kedua pembicara, Pak Suharto selaku moderator membuka sesi tanya jawab dan berbagi cerita dari peserta. Beberapa peserta dari Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan mengajukan pertanyaan dan juga berbagi cerita. Di forum diskusi ini beberapa peserta mengungkapkan bahwa desanya belum menerapkan tata kelola desa inklusi dan sangat tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai praktek pengelolaan desa inklusi di Desa Plembutan untuk kemudian diimplementasikan di desanya nanti. Ada yang menarik perhatian saya, saat seorang peserta dari Bone, Sulawesi Selatan, mengungkapkan bahwa bangunan Balai Desa Plembutan bahkan lebih bagus daripada bangunan Kantor Kecamatan di Bone. Saya tersenyum miris, membayangkan betapa jomplangnya perbedaan pembangunan di Pulau Jawa dengan di luar Jawa. Semoga dengan adanya forum-forum diskusi seperti yang terjadi dalam Temu Inklusi 2018 ini maka pemerataan sarana dan prasarana fisik terutama untuk keperluan penyandang disabilitas mampu terwujud di seluruh Indonesia. Sekembalinya para peserta ke daerahnya masing-masing, diharapkan mereka mampu membagikan pengalaman, pengetahuan, dan gagasan pada para koleganya, lalu bersama-sama bergandengan tangan merealisasikan Indonesia Inklusif 2030 - #IDInklusif
0 komentar
Komentar Anda dimoderasi. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya :)
Silakan tinggalkan pesan di kolom komentar dan saya akan membalasnya. Sering-sering berkunjung ya, untuk mengecek dan membaca artikel lainnya di blog ini. Terima kasih. Maturnuwun. Thank you. Danke.